UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR  39 TAHUN  2004

 

TENTANG

 

PENEMPATAN  DAN  PERLINDUNGAN

TENAGA  KERJA  INDONESIA  DI   LUAR  NEGERI

  

DENGAN RAHMAT  TUHAN YANG MAHA ESA

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang    :  a.   bahwa bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakannya;

 

b.      bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan;

 

c.      bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia;

 

d.      bahwa negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, dan anti perdagangan manusia;

 

e.      bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional;

 

f.        bahwa penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri perlu dilakukan secara terpadu antara instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah dan peran serta masyarakat dalam suatu sistem hukum guna melindungi tenaga kerja Indonesia yang ditempatkan di luar negeri;

 

g.      bahwa peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan  yang ada belum mengatur secara memadai, tegas, dan terperinci mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri;

 

h.      bahwa dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri diatur dengan Undang-undang;        

 

i.        bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, perlu membentuk Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri;

 

Mengingat      :  1.   Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 E ayat (1) dan ayat (3), Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;    

 

2.      Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara  Republik Indonesia Nomor 4279);

 

 

Dengan Persetujuan Bersama

 

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

 

MEMUTUSKAN :

 

Menetapkan   :  UNDANG-UNDANG TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA DI LUAR NEGERI.

 

BAB I

KETENTUAN UMUM  

 

Pasal 1

 

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

 

1.            Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat  untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.

 

2.            Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintahkabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

3.            Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan tenaga kerja Indonesia sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan  pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.

 

4.            Perlindungan TKI adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan calon TKI/TKI dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, baik sebelum, selama, maupun sesudah bekerja.  

 

5.            Pelaksana penempatan TKI swasta adalah badan hukum yang telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan TKI di luar negeri.   

 

6.            Mitra Usaha adalah instansi atau badan usaha berbentuk badan hukum di negara tujuan yang bertanggung jawab menempatkan TKI pada Pengguna.      

 

7.            Pengguna Jasa TKI yang selanjutnya disebut dengan Pengguna adalah instansi Pemerintah, Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau Perseorangan di negara tujuan yang mempekerjakan TKI.   

 

8.            Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dengan Mitra Usaha atau Pengguna yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan serta perlindungan TKI di negara tujuan.        

 

9.            Perjanjian Penempatan TKI adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dengan calon TKI yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan TKI di negara tujuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  

 

10.        Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.

 

11.        Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disebut dengan KTKLN adalah kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.  

 

12.        Visa Kerja adalah izin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang pada perwakilan suatu negara yang memuat persetujuan untuk masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang bersangkutan.    

 

13.        Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI yang selanjutnya disebut SIPPTKI adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta. 

 

14.        Surat Izin Pengerahan yang selanjutnya disebut SIP adalah izin yang diberikan Pemerintah kepada pelaksana penempatan TKI swasta untuk merekrut calon TKI dari daerah tertentu, untuk jabatan tertentu, dan untuk dipekerjakan pada calon Pengguna tertentu dalam jangka waktu tertentu.  

15.        Orang adalah pihak orang perseorangan atau badan hukum.        

 

16.        Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri.   

 

17.        Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

 

Pasal 2

 

Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti  perdagangan manusia.   

 

Pasal 3

 

Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI  bertujuan untuk:

 

a.      memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;

b.      menjamin dan melindungi  calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal di Indonesia;

c.      meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

 

 

Pasal  4

 

Orang perseorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri.

 

 

BAB II

TUGAS, TANGGUNG JAWAB, DAN KEWAJIBAN PEMERINTAH

 

Pasal  5

 

(1)        Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

 

(2)        Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melimpahkan sebagian wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 6

 

Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri.    

 

 

Pasal 7

 

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6  Pemerintah berkewajiban:

 

a.           menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang berangkat melalui pelaksana penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri;

b.           mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;

c.           membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan calon TKI di luar negeri;

d.           melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI  secara optimal di negara tujuan; dan

e.           memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.

 

 

BAB  III

HAK DAN KEWAJIBAN TKI

 

 

Pasal  8

 

Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk:

 

a.       bekerja di luar negeri;

 

b.      memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur penempatan TKI di luar negeri;

 

c.       memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dalam penempatan di luar negeri;

 

d.      memperoleh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya;

 

e.       memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan;

 

f.        memperoleh hak, kesempatan, dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan;

 

g.       memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri;

 

h.       memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI ke tempat asal;

 

i.         memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli.

 

Pasal  9

 

Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk:

 

a.       menaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun di negara tujuan;

 

b.      menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja;

 

c.       membayar biaya pelayanan penempatan TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

 

d.      memberitahukan atau melaporkan kedatangan, keberadaan dan kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

 

 

 

BAB  IV

PELAKSANA  PENEMPATAN  TKI   DI LUAR NEGERI

 

Pasal  10

 

Pelaksana penempatan TKI di luar negeri terdiri dari:

a.       Pemerintah;

b.      Pelaksana penempatan TKI swasta.

 

Pasal 11

 

(1)           Penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 10  huruf a,  hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah  negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan.                          

 

(2)           Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penempatan TKI oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal  12

 

Perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b wajib mendapat izin tertulis berupa SIPPTKI dari Menteri. 

 

Pasal 13

 

(1)         Untuk dapat memperoleh SIPPTKI  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, pelaksanapenempatan TKI swasta harus memenuhi persyaratan:

 

a.         berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan;

 

b.         memiliki modal disetor yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan, sekurang-kurangnya sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah);

 

c.         menyetor uang kepada bank sebagai jaminan dalam bentuk deposito sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) pada bank pemerintah;

 

d.         memiliki rencana kerja penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri sekurang-kurangnya untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun berjalan;

 

e.         memiliki unit pelatihan kerja; dan                              

 

f.           memiliki sarana dan prasarana pelayanan penempatan TKI.

 

(2)         Sesuai dengan perkembangan keadaan, besarnya modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan jaminan dalam bentuk deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat ditinjau kembali dan diubah dengan Peraturan Menteri.                                                

 

(3)         Ketentuan mengenai penyusunan rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,  dan bentuk serta standar yang harus dipenuhi untuk sarana dan prasarana pelayanan penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf  f, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

 

Pasal 14

 

(1)         Izin untuk melaksanakan penempatan TKI di luar negeri diberikan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setiap 5 (lima) tahun sekali.

 

(2)         Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada pelaksana penempatan TKI swasta selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

 

a.       telah melaksanakan kewajibannya untuk memberikan laporan secara periodik kepada Menteri;

 

b.      telah melaksanakan penempatan sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari rencana penempatan pada waktu memperoleh SIPPTKI;

 

c.       masih memiliki sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar yang ditetapkan;

 

d.      memiliki neraca keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir tidak mengalami kerugian yang di audit akuntan publik; dan

 

e.       tidak dalam kondisi diskors.

 

Pasal 15

 

Tata cara pemberian dan perpanjangan SIPPTKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal  12  dan Pasal  14  diatur dengan Peraturan Menteri.                         

 

 

Pasal 16

 

Deposito hanya dapat dicairkan dalam hal pelaksana penempatan TKI swasta tidak memenuhi kewajiban terhadap calon TKI/TKI sebagaimana telah diperjanjikan dalam perjanjian penempatan.  

                                                           

 

Pasal  17

 

(1)        Pelaksana penempatan TKI swasta wajib menambah biaya keperluan penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI/TKI apabila deposito yang digunakan tidak mencukupi.         

 

(2)        Pemerintah mengembalikan deposito kepada pelaksana penempatan TKI swasta apabila  masa berlaku SIPPTKI telah berakhir dan tidak diperpanjang lagi atau SIPPTKI dicabut.                             

 

(3)        Ketentuan mengenai penyetoran, penggunaan, pencairan, dan pengembalian deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.          

 

 

Pasal  18

 

(1)         Menteri dapat mencabut SIPPTKI apabila pelaksana penempatan TKI swasta:

 

a.       tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; atau

 

b.      tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dan/atau melanggar larangan dalam penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yang diatur dalam undang-undang ini.

 

(2)         Pencabutan SIPPTKI oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada  ayat (1), tidak mengurangi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta terhadap TKI yang telah ditempatkan dan masih berada di luar negeri.

 

(3)         Tata cara pencabutan SIPPTKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal  19

 

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI kepada pihak lain.                   

 

 

Pasal 20

 

(1)        Untuk mewakili kepentingannya, pelaksana penempatan TKI swasta wajib mempunyai perwakilan  di negara TKI ditempatkan.

 

(2)        Perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus berbadan hukum yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan di negara tujuan.

 

 

Pasal 21

 

(1)        Pelaksana penempatan TKI swasta dapat membentuk kantor cabang di daerah di luar wilayah domisili kantor pusatnya.

 

(2)        Kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi tanggung jawab kantor pusat pelaksana penempatan TKI swasta.

 

(3)        Ketentuan mengenai tata cara pembentukan kantor cabang pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

 

Pasal  22 

 

Pelaksana penempatan TKI swasta hanya dapat memberikan kewenangan kepada kantor cabang untuk:

 

a.       melakukan penyuluhan dan pendataan calon TKI;

b.      melakukan pendaftaran dan seleksi  calon TKI;

c.       menyelesaikan kasus calon TKI/TKI pada pra atau purna penempatan; dan

d.      menandatangani perjanjian penempatan dengan calon TKI atas nama pelaksana penempatan TKI swasta.

 

 

Pasal  23

 

Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, menjadi tanggung jawab kantor pusat pelaksana penempatan TKI swasta.                     

 

 

 

 

Pasal  24

 

(1)         Penempatan TKI pada Pengguna perseorangan harus melalui Mitra Usaha di negara tujuan.

 

(2)         Mitra Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum yang didirikan sesuai dengan peraturan perundangan di negara tujuan.

 

Pasal  25

 

(1)        Perwakilan Republik Indonesia melakukan penilaian terhadap Mitra Usaha dan Pengguna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

 

(2)        Hasil penilaian terhadap Mitra Usaha dan Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan sebagai pertimbangan Perwakilan Republik Indonesia dalam memberikan persetujuan atas dokumen yang dipersyaratkan dalam penempatan TKI di luar negeri.

 

(3)        Berdasarkan hasil penilaian terhadap Mitra Usaha dan Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perwakilan Republik Indonesia menetapkan Mitra Usaha dan Pengguna yang bermasalah dalam daftar Mitra Usaha dan Pengguna bermasalah.

 

(4)        Pemerintah mengumumkan daftar Mitra Usaha dan Pengguna bermasalah secara periodik setiap 3 (tiga) bulan.

 

(5)        Ketentuan mengenai tata cara penilaian dan penetapan Mitra Usaha dan Pengguna baik bermasalah maupun tidak bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Pasal  26 

 

(1)        Selain oleh Pemerintah dan pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, perusahaan dapat menempatkan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaannya sendiri atas dasar izin tertulis dari Menteri.

 

(2)        Penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan:

 

a.       perusahaan yang bersangkutan harus berbadan hukum yang dibentuk berdasarkan hukum Indonesia;

 

b.      TKI yang ditempatkan merupakan pekerja perusahaan itu sendiri;

 

c.       perusahaan memiliki bukti hubungan kepemilikan atau perjanjian pekerjaan yang diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia;

 

d.      TKI telah memiliki perjanjian kerja;

 

e.       TKI telah diikutsertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja dan/atau memiliki polis asuransi; dan

 

f.        TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN.

 

 

(3)        Ketentuan mengenai penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

 

 

BAB  V

TATA  CARA  PENEMPATAN

 

Bagian Pertama

Umum

 

Pasal  27

 

(1)        Penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia atau ke negara tujuan yang mempunyai peraturan perundang-undangan yang  melindungi tenaga kerja asing.

 

(2)        Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan atas pertimbangan keamanan Pemerintah menetapkan negara-negara tertentu tertutup bagi penempatan TKI dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal  28

 

Penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan PeraturanMenteri.

 

Pasal  29

 

(1)         Penempatan calon TKI/TKI di luar negeri diarahkan pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan.

 

(2)         Penempatan calon TKI/TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak azasi manusia, perlindungan hukum, pemerataan kesempatan kerja, dan ketersediaan tenaga kerja dengan mengutamakan kepentingan nasional.                 

 

Pasal  30 

 

Setiap orang dilarang menempatkan calon TKI/TKI pada jabatan dan tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma kesusilaan serta peraturan perundang-undangan, baik di Indonesia maupun di negara tujuan atau di negara tujuan yang telah dinyatakan tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.

 

 

Bagian Kedua

Pra Penempatan TKI    

 

Pasal  31 

 

Kegiatan pra penempatan TKI di luar negeri meliputi:

a.             pengurusan SIP;

b.            perekrutan dan seleksi;

c.             pendidikan dan pelatihan kerja;

d.            pemeriksaan kesehatan dan psikologi;

e.             pengurusan dokumen;

f.              uji  kompetensi;

g.             pembekalan akhir pemberangkatan (PAP); dan

h.             pemberangkatan.

 

Paragraf  1

Surat Izin Pengerahan

 

Pasal  32

 

(1)         Pelaksana penempatan TKI swasta yang akan melakukan perekrutan wajib memiliki SIP dari Menteri.

 

(2)         Untuk mendapatkan SIP, pelaksana penempatan TKI swasta harus memiliki:

 

a.       perjanjian kerjasama penempatan;

b.      surat permintaan TKI dari Pengguna; 

c.       rancangan perjanjian penempatan; dan

d.      rancangan perjanjian kerja.

 

(3)        Surat permintaan TKI dari Pengguna, perjanjian kerja sama penempatan, dan rancangan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf  d  harus memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

 

(4)        Tata cara penerbitan SIP diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal  33

 

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang mengalihkan atau memindahtangankan SIP kepada pihak lain untuk melakukan perekrutan calon TKI.

 

Paragraf  2

Perekrutan dan Seleksi

 

Pasal  34

 

(1)           Proses perekrutan didahului dengan memberikan informasi kepada calon TKI sekurang-kurangnya tentang:

 

a.        tata caraperekrutan;

b.        dokumen yang diperlukan;

c.         hak dan kewajiban calon TKI/TKI;

d.        situasi, kondisi, dan resiko di negara tujuan; dan

e.        tata cara perlindungan bagi TKI.

 

(2)         Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan secara  lengkap dan benar.

 

(3)         Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), wajib mendapatkan persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan disampaikan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

 

Pasal  35 

 

Perekrutan calon TKI oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib dilakukan terhadap calon TKI yang telah memenuhi persyaratan:

a.       berusia sekurang-kurangnya 18 (delapan belas) tahun  kecuali bagi calon TKI yang akan dipekerjakan pada Pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 (dua puluh satu) tahun;

b.      sehat jasmani dan rohani;

c.       tidak dalam keadaan hamil bagi  calon tenaga kerja perempuan; dan

d.      berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat.

 

 

Pasal  36

 

(1)        Pencari kerja yang berminat bekerja ke luar negeri  harus terdaftar  pada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

 

(2)        Pendaftaran pencari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal  37 

 

Perekrutan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta dari pencari kerja yang terdaftar pada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1).

 

Pasal  38

 

(1)           Pelaksana penempatan TKI swasta membuat dan menandatangani perjanjian penempatan dengan pencari kerja yang telah dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi dalam proses perekrutan. 

 

(2)           Perjanjian penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketahui oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

 

Pasal  39

 

Segala biaya yang diperlukan dalam kegiatan perekrutan calon TKI, dibebankan dan menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta.

 

Pasal  40

 

Ketentuan mengenai tata cara perekrutan calon TKI, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. 

 

Paragraf  3

Pendidikan dan Pelatihan Kerja

 

Pasal  41

 

(1)           Calon TKI wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan persyaratan jabatan.

 

(2)           Dalam hal TKI belum memiliki kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),  pelaksana penempatan TKI swasta wajib melakukan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan.

 

 

Pasal  42

 

(1)         Calon TKI berhak mendapat pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan pekerjaan yang akan dilakukan.

 

(2)         Pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk:

 

a.       membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja calon TKI;

b.      memberi pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya, agama, dan risiko bekerja di luar negeri;

c.       membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara tujuan; dan

d.      memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon TKI/TKI.

 

 

Pasal  43

 

(1)         Pendidikan dan pelatihan kerja dilaksanakan oleh pelaksana penempatan tenaga kerja swasta atau lembaga pelatihan kerja yang telah memenuhi persyaratan.

 

(2)         Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan kerja.

 

 

 

Pasal  44

 

Calon TKI memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal  43, dalam bentuk sertifikat kompetensi dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang telah terakreditasi oleh instansi yang berwenang apabila lulus dalam sertifikasi kompetensi kerja.      

                                                                   

Pasal  45

 

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja.                               

 

Pasal  46

 

Calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan dilarang untuk dipekerjakan.                                                                                     

 

Pasal 47

 

Ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan kerja diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

 

Paragraf  4

Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologi

 

Pasal  48   

 

Pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dimaksudkan untuk mengetahui derajat kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan.

 

Pasal  49   

 

(1)        Setiap calon TKI harus mengikuti pemeriksaan kesehatan dan psikologi yang diselenggarakan oleh sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi, yang ditunjuk oleh Pemerintah.

 

(2)        Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dan penunjukan sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan psikologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.

 

Pasal  50

 

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan psikologi.

 

 

Paragraf 5

Pengurusan Dokumen  

 

Pasal  51    

 

Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI harus memiliki dokumen yang meliputi :

 

a.             Kartu Tanda Penduduk, ijazah pendidikan terakhir, akte kelahiran, atau surat keterangan kenal lahir;

b.            surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan copy buku nikah;

c.             surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali;

d.            sertifikat kompetensi kerja;

e.             surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi ;

f.              paspor yang diterbitkan oleh Kantor Imigrasi setempat;

g.             visa kerja;

h.             perjanjian penempatan TKI;

i.               perjanjian kerja; dan

j.              KTKLN.

 

Pasal  52 

 

(1)        Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf h dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh calon TKI dan pelaksana penempatan TKI swasta setelah calon TKI yang bersangkutan terpilih dalam perekrutan.             

                                                                     

(2)        Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat:

 

a.       nama dan alamat pelaksana penempatan TKI swasta;

 

b.      nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, dan alamat calon TKI;

 

c.       nama dan alamat calon Pengguna;

 

d.      hak dan kewajiban para pihak dalam rangka penempatan TKI di luar negeri yang harus sesuai dengan kesepakatan dan syarat-syarat yang ditentukan oleh calon Pengguna tercantum dalam perjanjian kerjasama penempatan;

 

e.       jabatan dan jenis pekerjaan calon TKI sesuai permintaan Pengguna;

 

f.        jaminan pelaksana penempatan TKI swasta kepada calon TKI dalam hal Pengguna tidak memenuhi kewajibannya kepada TKI sesuai perjanjian kerja;

 

g.       waktu keberangkatan calon TKI;

 

h.       biaya penempatan yang harus ditanggung oleh calon TKI dan cara pembayarannya;

 

i.         tanggung jawab pengurusan penyelesaian masalah;

 

j.        akibat atas terjadinya pelanggaran perjanjian penempatan TKI oleh salah satu pihak; dan

 

k.      tanda tangan para pihak dalam perjanjian penempatan TKI.

 

(3)        Ketentuan dalam perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

 

(4)        Perjanjian penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua) dengan bermaterai cukup dan masing-masing pihak mendapat 1 (satu) perjanjian penempatan TKI yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.

 

Pasal  53

 

Perjanjian penempatan TKI tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.                                                                       

 

Pasal  54 

 

(1)        Pelaksana penempatan TKI swasta wajib melaporkan setiap perjanjian penempatan TKI kepada instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

 

(2)        Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan melampirkan copy atau salinan perjanjian penempatan TKI.

 

 

Bagian Ketiga

Perjanjian  Kerja

 

Pasal  55

 

(1)        Hubungan kerja antara Pengguna dan TKI terjadi setelah perjanjian kerja disepakati dan ditandatangani oleh para pihak.

 

(2)        Setiap TKI wajib menandatangani perjanjian kerja sebelum TKI yang bersangkutan diberangkatkan ke luar negeri.

 

(3)        Perjanjian kerja ditandatangani di hadapan pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

 

(4)        Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disiapkan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

 

(5)        Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), sekurang-kurangnya memuat:

 

a.       nama dan alamat Pengguna;

b.      nama dan alamat TKI;

c.       jabatan atau jenis pekerjaan TKI;

d.      hak dan kewajiban para pihak;

e.       kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam kerja, upah dan tata cara pembayaran, hak cuti dan waktu istirahat, fasilitas dan jaminan sosial; dan

f.        jangka waktu perjanjian kerja.

 

 

Pasal  56

 

(1)        Perjanjian kerja dibuat untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun.

 

(2)        Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jabatan atau jenis pekerjaan tertentu.

 

(3)        Ketentuan mengenai jabatan atau jenis pekerjaan tertentu yang dikecualikan dari jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal  57

 

(1)          Perpanjangan jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), dapat dilakukan oleh TKI yang bersangkutan atau melalui pelaksana penempatan TKI swasta.

 

(2)          Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disepakati oleh para pihak sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sebelum perjanjian kerja pertama berakhir.

 

Pasal  58

 

(1)        Perjanjian kerja perpanjangan dan jangka waktu perpanjangan perjanjian kerja wajib mendapat persetujuan dari pejabat berwenang pada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

 

(2)        Pengurusan untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta.

 

(3)        Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan perjanjian kerja dan perpanjangan jangka waktu perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal  59

 

TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja, TKI yang bersangkutan harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia.                                                

Pasal  60

 

Dalam hal perpanjangan dilakukan sendiri oleh TKI yang bersangkutan, maka pelaksana penempatan TKI swasta tidak bertanggung jawab atas risiko yang menimpa TKI dalam masa perpanjangan perjanjian kerja.                

 

Pasal  61

 

Bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan, apabila selama masa berlakunya perjanjian kerja terjadi perubahan jabatan atau jenis pekerjaan, atau pindah Pengguna, maka perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengurus perubahan perjanjian kerja dengan membuat perjanjian kerja baru dan melaporkannya kepada Perwakilan Republik Indonesia.                    

Pasal  62

 

(1)        Setiap TKI yang ditempatkan di luar negeri, wajib memiliki dokumen KTKLN yang dikeluarkan oleh Pemerintah.

 

(2)        KTKLN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai kartu identitas TKI selama masa penempatan TKI di negara tujuan.

 

Pasal  63

 

(1)        KTKLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 hanya dapat diberikan apabila TKI yang bersangkutan:

 

a.       telah memenuhi persyaratan dokumen penempatan TKI di luar negeri;

b.      telah mengikuti Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP); dan

c.       telah diikutsertakan dalam perlindungan program asuransi.

 

(2)        Ketentuan mengenai bentuk, persyaratan, dan tata cara memperoleh KTKLN diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal  64

 

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan calon TKI yang tidak memiliki KTKLN.                                                     

                                   

Pasal  65

 

Pelaksana penempatan TKI swasta bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen penempatan yang diperlukan.                                                             

 

Pasal  66  

 

Pemerintah wajib menyediakan pos-pos pelayanan di pelabuhan pemberangkatan dan pemulangan TKI yang dilengkapi dengan fasilitas yang memenuhi syarat.

 

Pasal  67  

 

(1)        Pelaksana penempatan TKI swasta wajib memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 sesuai dengan perjanjian penempatan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 52 ayat (2).

 

(2)        Pelaksana penempatan TKI swasta wajib melaporkan setiap keberangkatan calon TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia  di negara tujuan.

 

(3)        Pemberangkatan TKI ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan melalui tempat pemeriksaan imigrasi yang terdekat.

 

Pasal  68

 

(1)        Pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikutsertakan TKI yang diberangkatkan ke luar negeri dalam program asuransi.

 

(2)        Jenis program asuransi yang wajib diikuti oleh TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal  69

 

(1)        Pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikutsertakan TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri dalam pembekalan akhir pemberangkatan.

 

(2)        Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) dimaksudkan untuk memberi pemahaman dan pendalaman terhadap:

 

a.      peraturan perundang-undangan di negara  tujuan; dan

b.      materi perjanjian kerja.

 

(3)        Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) menjadi tanggung jawab Pemerintah.

 

(4)        Ketentuan mengenai penyelenggaraan akhir pemberangkatan (PAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan  Menteri.

 

 

Bagian Keempat

Masa Tunggu di Penampungan

 

Pasal  70

 

(1)         Pelaksana penempatan TKI swasta dapat menampung calon TKI sebelum pemberangkatan.

 

(2)         Lamanya penampungan disesuaikan dengan jabatan dan/atau jenis pekerjaan yang akan dilakukan di negara tujuan.

 

(3)         Selama masa penampungan, pelaksana penempatan TKI swasta wajib memperlakukan calon TKI secara wajar dan manusiawi.

 

(4)         Ketentuan mengenai standar tempat penampungan dan lamanya penampungan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

 

Bagian Kelima

Masa Penempatan

 

Pasal  71

 

(1)        Setiap TKI wajib melaporkan kedatangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

 

(2)        Kewajiban untuk melaporkan kedatangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

 

 

Pasal  72

 

Pelaksana penempatan TKI swasta dilarang menempatkan TKI yang tidak sesuai dengan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perjanjian kerja yang disepakati dan ditandatangani TKI yang bersangkutan.

 

 

Bagian Keenam

Purna Penempatan 

 

Pasal  73

 

(1)        Kepulangan TKI  terjadi karena:

 

a.      berakhirnya masa perjanjian kerja;

b.      pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir;

c.      terjadi perang, bencana alam, atau wabah penyakit di negara tujuan;

d.      mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan tidak bisa menjalankan pekerjaannya lagi;

e.      meninggal dunia di negara tujuan;

f.        cuti;  atau

g.      dideportasi oleh pemerintah setempat.

 

(2)        Dalam hal TKI meninggal dunia di negara tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, pelaksana penempatan TKI berkewajiban:

 

a.      memberitahukan tentang kematian TKI kepada keluarganya paling lambat 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak diketahuinya kematian tersebut;

 

b.      mencari informasi tentang sebab-sebab kematian dan memberitahukannya kepada pejabat Perwakilan Republik Indonesia dan anggota keluarga TKI yang bersangkutan;

 

c.      memulangkan jenazah TKI ke tempat asal dengan cara yang layak serta menanggung semua biaya yang diperlukan, termasuk biaya penguburan sesuai dengan tata cara agama TKI yang bersangkutan;

 

d.      mengurus pemakaman di negara tujuan penempatan TKI atas persetujuan pihak keluarga TKI atau sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan;

 

e.      memberikan perlindungan terhadap seluruh harta milik TKI untuk kepentingan anggota keluarganya; dan

 

f.        mengurus pemenuhan semua hak-hak TKI yang seharusnya diterima.

 

(3)        Dalam hal terjadi perang, bencana alam, wabah penyakit, dan deportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dan huruf  g,  Perwakilan Republik Indonesia, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah bekerja sama mengurus kepulangan TKI sampai ke daerah asal TKI.  

 

 

Pasal  74    

 

(1)        Setiap TKI yang akan kembali ke Indonesia wajib melaporkan kepulangannya kepada Perwakilan Republik Indonesia negara tujuan.

 

(2)        Pelaporan bagi TKI yang bekerja pada Pengguna perseorangan dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

 

 

Pasal  75  

 

(1)         Kepulangan TKI dari negara tujuan sampai tiba di daerah asal menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI.                                      

 

(2)         Pengurusan kepulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi  hal:

 

a.       pemberian kemudahan atau fasilitas kepulangan TKI;

b.      pemberian fasilitas kesehatan bagi TKI yang sakit dalam kepulangan; dan

c.       pemberian upaya perlindungan terhadap TKI dari kemungkinan adanya tindakan pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab dan dapat merugikan TKI dalam kepulangan.

 

(3)         Pemerintah dapat mengatur kepulangan TKI. 

 

(4)         Ketentuan lebih lanjut mengenai pemulangan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

 

Bagian Ketujuh

Pembiayaan

 

Pasal  76

 

(1)        Pelaksana penempatan TKI swasta hanya dapat membebankan biaya penempatan kepada calon TKI  untuk komponen biaya:

 

a.       pengurusan dokumen jati diri;

b.      pemeriksaan kesehatan dan psikologi; dan

c.       pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja.

 

(2)         Biaya selain biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

(3)         Komponen biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus transparan dan memenuhi asas akuntabilitas.

 

 

 

BAB VI

PERLINDUNGAN TKI

 

Pasal  77 

 

(1)        Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

(2)        Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan.

 

 

Pasal  78

 

(1)       Perwakilan Republik Indonesia memberikan perlindungan terhadap TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta hukum dan kebiasaan internasional.

 

(2)       Dalam rangka perlindungan TKI di luar negeri, Pemerintah dapat menetapkan jabatan Atase Ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia tertentu.

 

(3)       Penugasan Atase Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal  79

 

Dalam rangka pemberian perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri, Perwakilan Republik Indonesia melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perwakilan pelaksana penempatan TKI swasta dan TKI yang ditempatkan di luar negeri.                                           

 

 

Pasal  80 

 

(1)        Perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri dilaksanakan antara lain:

 

a.         pemberian bantuan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara tujuan serta hukum dan kebiasaan internasional;

 

b.         pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan/atau peraturan perundang-undangan di negara TKI ditempatkan.

 

(2)        Ketentuan mengenai pemberian perlindungan selama masa penempatan TKI di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Pasal  81

 

(1)        Dengan pertimbangan untuk melindungi calon TKI/TKI, pemerataan kesempatan kerja dan/atau untuk kepentingan ketersediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan nasional, Pemerintah dapat menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI di luar negeri untuk negara tertentu atau penempatan TKI pada jabatan-jabatan tertentu di luar negeri.

 

(2)        Dalam menghentikan dan/atau melarang penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memperhatikan saran dan pertimbangan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.

 

(3)        Ketentuan mengenai penghentian dan pelarangan penempatan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

Pasal  82 

 

Pelaksana penempatan TKI swasta bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada calon TKI/TKI sesuai dengan perjanjian penempatan.

 

Pasal  83    

 

Setiap calon TKI/TKI yang bekerja ke luar negeri baik secara perseorangan maupun yang ditempatkan oleh pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengikuti program pembinaan dan  perlindungan TKI.

 

Pasal  84   

 

Program pembinaan dan perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

 

BAB VII

PENYELESAIAN PERSELISIHAN 

  

Pasal  85

 

(1)        Dalam hal terjadi sengketa antara TKI dengan pelaksana penempatan TKI swasta mengenai pelaksanaan perjanjian penempatan, maka kedua belah pihak mengupayakan penyelesaian secara damai dengan cara bermusyawarah.

 

(2)        Dalam hal penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai, maka salah satu atau kedua belah pihak dapat meminta bantuan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota, Provinsi atauPemerintah.

 

 

BAB  VIII

PEMBINAAN  

 

Pasal  86

 

(1)        Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri.

 

(2)        Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat mengikutsertakan pelaksana penempatan TKI swasta, organisasi dan/atau masyarakat.

 

(3)        Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi.

 

 

Pasal  87  

 

Pembinaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, dilakukan dalam bidang:

 

a.       informasi;

b.      sumber daya manusia; dan

c.       perlindungan TKI.

 

Pasal  88

 

Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf a, dilakukan dengan:

 

a.       membentuk sistem dan jaringan informasi yang terpadu mengenai pasar kerja luar negeri yang dapat diakses secara meluas oleh masyarakat;

 

b.      memberikan informasi keseluruhan proses dan prosedur mengenai penempatan TKI di luar negeri termasuk risiko bahaya yang mungkin terjadi selama masa penempatan TKI di luar negeri.

 

Pasal  89

 

Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf b, dilakukan dengan:

 

a.    meningkatkan kualitas keahlian dan/atau keterampilan kerja calon TKI/TKI yang akan ditempatkan di luar negeri termasuk kualitas kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing;

 

b.    membentuk dan mengembangkan pelatihan kerja yang sesuai dengan standar dan persyaratan yang ditetapkan.

 

 

Pasal  90

 

Pembinaan oleh Pemerintah dalam bidang perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal  87 huruf  c, dilakukan dengan:

 

a.       memberikan bimbingan dan advokasi bagi TKI mulai dari pra penempatan, masa penempatan dan purna penempatan;

 

b.      memfasilitasi penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI/TKI dengan Pengguna dan/atau pelaksana penempatan TKI;

 

c.       menyusun dan mengumumkan daftar Mitra Usaha dan Pengguna bermasalah secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

 

d.      melakukan kerja sama internasional dalam rangka perlindungan TKI sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal  91

 

(1)        Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang telah berjasa dalam pembinaan   penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

 

(2)        Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk piagam, uang, dan/atau bentuk lainnya.

 

 

BAB IX

PENGAWASAN   

 

Pasal  92

 

(1)         Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

 

(2)         Pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilaksanakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

 

(3)         Pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal  93

 

(1)         Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota wajib melaporkan hasil pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yang ada di daerahnya sesuai dengan tugas, fungsi, dan wewenangnya kepada Menteri.

 

(2)         Ketentuan mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

 

BAB X

 

BADAN  NASIONAL

PENEMPATAN  DAN PERLINDUNGAN TKI

 

Pasal  94

 

(1)         Untuk menjamin dan mempercepat terwujudnya tujuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, diperlukan pelayanan dan tanggung jawab yang terpadu.                                                                                

 

(2)         Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI.       

 

(3)         Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang berkedudukan di Ibukota Negara.                            

 

Pasal  95

 

(1)         Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 mempunyai fungsi pelaksanaan kebijakan di bidang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri secara terkoordinasi  dan terintegrasi.                                                                     

 

(2)         Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI bertugas:

 

a.       melakukan penempatan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan Pemerintah  negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan penempatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);

 

b.      memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan mengenai:

 

1)      dokumen;

2)      pembekalan akhir pemberangkatan (PAP);

3)      penyelesaian masalah;

4)      sumber-sumber pembiayaan;

5)      pemberangkatan sampai pemulangan;

6)      peningkatan kualitas calon TKI;

7)      informasi;

8)      kualitas pelaksana penempatan TKI; dan

9)      peningkatan kesejahteraan TKI dan keluarganya.

 

 

Pasal  96

 

(1)         Keanggotaan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI terdiri dari wakil-wakil instansi Pemerintah terkait.

 

(2)         Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) dapat melibatkan tenaga-tenaga profesional.

 

Pasal  97

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur organisasi, dan tata kerja Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI diatur dengan Peraturan Presiden.                                                                           

 

Pasal  98

 

(1)        Untuk kelancaran pelaksanaan pelayanan penempatan TKI,  Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI membentuk Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI di Ibukota Provinsi dan/atau tempat pemberangkatan TKI yang dianggap perlu.

 

(2)        Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan kemudahan pelayanan pemrosesan seluruh dokumen penempatan TKI.

 

(3)        Pemberian pelayanan pemrosesan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan bersama-sama dengan instansi yang terkait.

 

Pasal  99

 

(1)        Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan.

 

(2)        Tata cara pembentukan dan susunan organisasi Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan.

 

BAB  XI

  SANKSI ADMINISTRATIF 

 

Pasal  100

 

(1)         Menteri menjatuhkan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), Pasal 49 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 62 ayat (1),  Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2),     Pasal 69 ayat (1), Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73 ayat (2), Pasal 74 ayat (1),  Pasal 76 ayat (1), Pasal 82,  atau Pasal 105.

 

(2)         Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  berupa:

 

a.      peringatan tertulis;

b.      penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha penempatan TKI;

c.      pencabutan izin;

d.      pembatalan keberangkatan calon TKI; dan/atau

e.      pemulangan TKI dari luar negeri dengan biaya sendiri.

 

(3)         Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

 

BAB  XII

PENYIDIKAN

 

Pasal  101 

 

(1)             Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

 

(2)             Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:

 

a.       melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan tentang tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI;

 

b.      melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI;

 

c.       meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI;

 

d.      melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI;

 

e.       melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI;

 

f.        meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI;

 

g.       menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya tindak pidana di bidang penempatan dan perlindungan TKI.

 

(3)             Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

 

 

BAB  XIII

KETENTUAN  PIDANA

 

Pasal  102

 

(1)         Dipidana dengan pidana penjara paling singkat  2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah),  setiap orang yang :

 

a.      menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; 

 

b.      menempatkan TKI tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; atau

 

c.      menempatkan calon TKI pada jabatan atau tempat pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan norma kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.

 

(2)         Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

 

Pasal  103

 

(1)         Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), setiap orang yang :

 

a.       mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;

 

b.       mengalihkan atau memindahtangankan SIP kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;

 

c.       melakukan perekrutan calon TKI yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35;

 

d.       menempatkan TKI yang tidak lulus dalam uji kompetensi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45;

 

e.       menempatkan TKI tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan psikologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50;

 

f.         menempatkan calon TKI/TKI yang tidak memiliki dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51;

 

g.       menempatkan TKI di luar negeri tanpa perlindungan program asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68; atau

 

h.       memperlakukan calon TKI secara tidak wajar dan tidak manusiawi selama masa di penampungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3).

 

(2)         Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

 

Pasal  104

 

(1)         Dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan  dan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah),  setiap orang yang :

 

a.      menempatkan TKI tidak melalui Mitra Usaha  sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 24;

 

b.      menempatkan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri tanpa izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1);

 

c.      mempekerjakan calon TKI yang sedang mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46;

 

d.      menempatkan TKI di Luar Negeri yang tidak memiliki KTKLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64; atau

 

e.      tidak memberangkatkan TKI ke luar negeri yang telah memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67.

 

(2)         Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

 

 

BAB XIV

KETENTUAN LAIN-LAIN

 

Pasal  105

 

(1)        TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan melapor pada instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dan Perwakilan Republik Indonesia.

 

(2)        Selain dokumen yang diperlukan untuk bekerja di luar negeri, TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan harus memiliki KTKLN.

 

Pasal  106 

 

(1)        TKI yang bekerja di luar negeri secara perseorangan berhak untuk memperoleh perlindungan.

 

(2)        Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

BAB XV 

KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal  107 

 

(1)         Pelaksana penempatan TKI swasta yang telah memiliki izin penempatan TKI di luar negeri sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini. 

 

(2)         Bagi pelaksana penempatan TKI swasta yang menempatkan TKI sebelum  berlakunya Undang-Undang ini,  maka jangka waktu penyesuaian terhitung mulai sejak Undang-Undang ini berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja TKI terakhir yang ditempatkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini.                          

 

(3)         Apabila pelaksana penempatan TKI swasta dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyesuaikan persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang ini, maka izin pelaksana penempatan TKI swasta ini dicabut oleh Menteri.

 

Pasal  108

 

Pembentukan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.

 

 

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal  109

 

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 18 Oktober 2004   

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

 

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

 

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 18 Oktober 2004

 

MENTERI NEGARA/SEKRETARIS

NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

 

 

BAMBANG KESOWO

 

 

LEMBARAN NEGARA  REPUBLIK INDONESIA  TAHUN 2004   NOMOR 133.

 

 

 

P E N J E L A S A N

A T A S

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR  39   TAHUN  2004

TENTANG

PENEMPATAN  DAN  PERLINDUNGAN

TENAGA  KERJA  INDONESIA  DI   LUAR  NEGERI

 

 

I.              UMUM

 

Pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan dapat dimaknai sebagai sumber penghasilan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Dapat juga dimaknai sebagai sarana untuk mengaktualisasikan diri sehingga seseorang merasa hidupnya menjadi lebih berharga baik bagi dirinya, keluarganya maupun lingkungannya. Oleh karena itu hak atas pekerjaan merupakan hak azasi yang melekat pada diri seseorang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati.

 

Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  Tahun 1945 Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun pada kenyataannya,  keterbatasan akan lowongan kerja  di dalam negeri menyebabkan banyaknya  warga negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan ke luar negeri. Dari tahun ke tahun  jumlah  mereka yang bekerja di luar negeri semakin meningkat.  Besarnya animo tenaga kerja  yang akan bekerja ke luar negeri  dan besarnya jumlah TKI yang sedang bekerja di luar negeri di satu segi mempunyai sisi positif, yaitu mengatasi sebagian masalah penggangguran di dalam negeri namun mempunyai pula sisi negatif berupa resiko kemungkinan terjadinya perlakuan  yang tidak manusiawi terhadap TKI. Resiko tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di luar negeri maupun setelah pulang ke Indonesia.  Dengan demikian perlu dilakukan  pengaturan  agar resiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI sebagaimana disebutkan di atas dapat  dihindari atau minimal  dikurangi.

 

Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah ketentuan-ketentuan yang mampu mengatur pemberian pelayanan penempatan bagi tenaga kerja secara baik. Pemberian pelayanan penempatan secara baik didalamnya mengandung prinsip murah, cepat, tidak berbelit-belit dan aman. Pengaturan yang bertentangan dengan prinsip tersebut memicu terjadinya penempatan tenaga kerja illegal yang tentunya berdampak kepada minimnya perlindungan bagi tenaga kerja yang bersangkutan. 

 

Sejalan dengan semakin meningkatnya tenaga kerja yang ingin bekerja di luar negeri dan besarnya jumlah TKI yang sekarang ini bekerja di luar negeri, meningkat pula kasus perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI baik di dalam maupun di luar negeri. Kasus yang berkaitan dengan nasib TKI semakin beragam dan bahkan berkembang kearah perdagangan manusia yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.

 

Selama ini, secara yuridis peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar acuan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia  (Staatsblad  Tahun 1887 Nomor 8) dan Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan dalam ordonansi sangat sederhana/sumir sehingga secara praktis tidak memenuhi kebutuhan yang berkembang. Kelemahan ordonansi itu dan tidak adanya undang-undang yang mengatur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri selama ini diatasi melalui pengaturan dalam Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya.

 

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Negeri dinyatakan tidak berlaku lagi dan diamanatkan  penempatan tenaga kerja ke luar negeri diatur  dalam undang-undang tersendiri. Pengaturan melalui undang-undang tersendiri, diharapkan  mampu merumuskan norma-norma hukum yang melindungi TKI dari berbagai upaya dan perlakuan eksploitatif dari siapapun. 

 

Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka Undang-Undang ini intinya harus memberi perlindungan warga negara yang  akan menggunakan haknya untuk mendapat pekerjaan,  khususnya pekerjaan di luar negeri, agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik  fisik, moral maupun martabatnya. 

 

Dikaitkan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masalah penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri, menyangkut juga hubungan antar  negara, maka sudah sewajarnya apabila kewenangan penempatan dan perlindungan  TKI di luar negeri merupakan kewenangan  Pemerintah.  Namun  Pemerintah tidak dapat bertindak sendiri, karena itu perlu melibatkan pemerintah provinsi  maupun kabupaten/kota serta institusi swasta. Di lain pihak karena masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia langsung berhubungan dengan  masalah nyawa  dan kehormatan  yang sangat azasi bagi manusia, maka  institusi  swasta  yang terkait tentunya haruslah mereka yang mampu baik dari aspek komitmen, profesionalisme  maupun secara ekonomis,  dapat menjamin hak-hak azasi warga negara yang bekerja di luar negeri agar tetap terlindungi.

 

Setiap tenaga kerja yang bekerja di luar wilayah  negaranya  merupakan orang pendatang atau orang asing di negara tempat ia bekerja. Mereka dapat dipekerjakan di wilayah manapun di negara tersebut, pada kondisi yang mungkin di luar dugaan atau harapan ketika mereka masih berada di tanah airnya. Berdasarkan pemahaman tersebut kita harus mengakui  bahwa pada kesempatan pertama perlindungan yang terbaik harus muncul dari diri tenaga kerja itu sendiri, sehingga kita tidak dapat menghindari perlunya diberikan batasan-batasan tertentu bagi tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri. Pembatasan yang utama adalah keterampilan atau pendidikan dan usia minimum yang boleh bekerja di luar negeri.  Dengan adanya pembatasan tersebut diharapkan dapat diminimalisasikan kemungkinan eksploitasi terhadap  tenaga kerja Indonesia.

 

Pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat dilakukan oleh setiap warga negara secara perseorangan. Terlebih lagi dengan mudahnya memperoleh informasi yang berkaitan dengan kesempatan kerja yang ada di luar negeri. Kelompok masyarakat yang dapat memanfaatkan teknologi informasi tentunya mereka yang mempunyai pendidikan atau keterampilan yang relatif tinggi.  Sementara bagi mereka yang  mempunyai pendidikan dan keterampilan yang relatif rendah  yang dampaknya mereka biasanya dipekerjakan pada jabatan atau pekerjaan-pekerjaan “kasar”, tentunya memerlukan pengaturan berbeda dari pada mereka yang memiliki keterampilan dan pendidikan yang lebih tinggi.   Bagi mereka lebih diperlukan campur tangan Pemerintah untuk memberikan pelayanan dan perlindungan yang maksimal.

 

Perbedaan pelayanan atau perlakuan bukan untuk mendiskriminasikan suatu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, namun justru untuk menegakkan hak-hak warga negara dalam memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Oleh karena itu dalam Undang-Undang ini, prinsip pelayanan penempatan dan perlindungan TKI adalah persamaan hak, berkeadilan, kesetaraan gender serta tanpa diskriminasi.

 

Telah dikemukakan di atas bahwa pada umumnya masalah yang timbul dalam penempatan adalah berkaitan dengan hak azasi manusia, maka sanksi-sanksi yang dicantumkan dalam Undang-Undang ini, cukup banyak berupa sanksi pidana. Bahkan tidak dipenuhinya persyaratan salah satu dokumen perjalanan, sudah merupakan tindakan pidana. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa  dokumen merupakan bukti utama bahwa tenaga kerja yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri.

 

Tidak adanya satu saja dokumen, sudah beresiko tenaga kerja tersebut tidak memenuhi syarat atau illegal untuk bekerja di negara penempatan. Kondisi ini membuat tenaga kerja yang bersangkutan rentan terhadap perlakuan yang tidak manusiawi atau perlakuan yang eksploitatif lainnya di negara tujuan penempatan. 

 

Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada serta peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Diplomatik dan Konvensi Wina 1963 mengenai Hubungan Konsuler, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Misi Khusus (Special Missions) Tahun 1969, dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri,   undang-undang penempatan dan perlindungan TKI di  luar  negeri dirumuskan dengan semangat untuk menempatkan TKI pada jabatan yang tepat sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, dengan tetap melindungi hak-hak TKI. Dengan demikian Undang-Undang ini diharapkan disamping dapat menjadi instrumen perlindungan bagi TKI baik selama masa pra penempatan, selama masa bekerja di luar negeri maupun selama masa kepulangan ke daerah asal di Indonesia juga dapat menjadi instrumen peningkatan kesejahteraan TKI beserta keluarganya.

 

 

II.            PASAL DEMI PASAL

 

Pasal  1

 Cukup jelas.

 

Pasal  2

           Cukup jelas.

 

Pasal  3

           Cukup jelas.

 

Pasal  4

Menempatkan warga negara Indonesia dalam pasal ini mencakup perbuatan dengan sengaja memfasilitasi atau mengangkut atau memberangkatkan warga negara Indonesia untuk bekerja pada Pengguna di luar negeri baik dengan memungut biaya maupun tidak dari yang bersangkutan.

Pasal  5

Ayat (1)

Penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dilakukan secara sesuai dan seimbang oleh Pemerintah dan masyarakat. Agar penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri tersebut dapat berhasil guna dan berdaya guna, Pemerintah perlu mengatur, membina, dan mengawasi pelaksanaannya.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 Pasal  6

           Cukup jelas.

 

Pasal  7

           Cukup jelas.

 

Pasal  8

           Cukup jelas.

 

Pasal  9

           Cukup jelas.

 

Pasal  10

Huruf  a

Cukup jelas.

 

Huruf  b

Pelaksana penempatan TKI swasta sebelum berlakunya Undang-Undang ini disebut dengan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI).

 

Pasal  11

Cukup jelas.

 

Pasal  12

           Cukup jelas.

 

Pasal  13

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

 

Huruf b

Cukup jelas.

           

Huruf c

Jaminan bank dalam bentuk deposito atas nama Pemerintah dimaksudkan agar ada jaminan untuk biaya keperluan penyelesaian perselisihan atau sengketa calon TKI di dalam negeri dan/atau TKI dengan Pengguna dan/atau pelaksana penempatan TKI swasta atau menyelesaikan kewajiban dan tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta yang masih ada karena izin dicabut atau izin tidak diperpanjang atau TKI tersebut tidak diikutkan dalam program asuransi.

           

Huruf d

Cukup jelas.

 

Huruf e

Cukup jelas.

 

Huruf f

Yang dimaksud dengan sarana prasarana pelayanan penempatan TKI antara lain tempat penampungan yang layak, tempat pelatihan kerja, dan kantor.

 

Ayat (2)       

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

  Cukup jelas

 

Pasal  14

Cukup jelas.

 

Pasal  15

Cukup jelas.

 

Pasal  16

Cukup jelas.

 

Pasal  17

Cukup jelas.

 

Pasal  18

Cukup jelas.

 

Pasal  19

Yang dimaksud dengan mengalihkan atau memindahtangankan SIPPTKI adalah yang dalam praktek sering disebut dengan istilah “jual bendera” atau “numpang proses”. Apabila hal ini ditolerir, akan membuat kesulitan untuk mencari pihak yang harus bertanggung jawab dalam hal terjadi permasalahan terhadap TKI.

 

Pasal  20

Ayat (1)

Pembentukan perwakilan dapat dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa pelaksana penempatan TKI swasta.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal  21

Ayat (1)

Kantor cabang dapat dibentuk di provinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan.

 

Ayat (2)

Cukup jelas

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal  22

           Cukup jelas.

 

Pasal  23

           Cukup jelas.

 

Pasal  24

Pengguna perseorangan dalam pasal ini adalah orang perseorangan yang mempekerjakan TKI pada pekerjaan-pekerjaan antara lain sebagai penata laksana rumah tangga, pengasuh bayi atau perawat manusia lanjut usia, pengemudi, tukang kebun/taman. Pekerjaan–pekerjaan tersebut biasa disebut sebagai pekerjaan di sektor informal.

 

Pasal  25

Ayat (1)

Cukup jelas.  

 

      Ayat (2)

Persetujuan Perwakilan Republik Indonesia meliputi dokumen perjanjian kerja sama penempatan, surat permintaan TKI, dan perjanjian kerja.

 

Ayat (3)

            Cukup jelas.              

 

Ayat (4)

            Cukup jelas.              

 

Ayat (5)

            Cukup jelas.

  

 Pasal  26

Ayat (1)

Cukup jelas.  

 

Ayat (2)

Huruf  a

Cukup jelas.

 

Huruf  b

Cukup jelas.

 

Huruf  c

Cukup jelas.

 

Huruf  d

Cukup jelas.

 

Huruf  e

Perlindungan asuransi yang dimaksud dalam huruf ini  sedikit-dikitnya sama dengan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

Huruf  f

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal  27

Ayat (1)

Cukup jelas.  

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pertimbangan keamanan pada ayat ini  antara lain negara tujuan dalam keadaan perang, bencana alam, atau terjangkit wabah penyakit menular.

 

 

Pasal  28

Yang dimaksud dengan pekerjaan atau jabatan tertentu dalam pasal ini antara lain pekerjaan sebagai pelaut.  

 

Pasal  29

Cukup jelas.

 

Pasal  30

Cukup jelas.

 

Pasal  31

Huruf  a

Cukup jelas.

 

Huruf  b

Cukup jelas.

 

Huruf  c

Pelatihan kerja bagi calon TKI dapat dilakukan oleh lembaga pelatihan maupun unit pelatihan yang dimiliki pelaksana penempatan TKI swasta.

 

Huruf  d

Pemeriksaaan psikologis dimaksudkan agar TKI tidak mempunyai hambatan psikologis dalam melaksanakan pekerjaannya di negara tujuan.

 

Huruf e

Cukup jelas.

 

Huruf  f

Cukup jelas.

 

Huruf  g

Cukup jelas.

 

Huruf  h

Cukup jelas.

 

Pasal  32

Ayat (1)

Cukup jelas.  

 

Ayat (2)

Huruf  a

Cukup jelas.

 

Huruf  b

Surat permintaan TKI dari Pengguna dalam huruf  ini  dikenal dengan sebutan job order, demand letter atau wakalah.

 

Huruf  c

Cukup jelas.

 

Huruf  d

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.  

 

Ayat (4)

Cukup jelas.  

 

 

Pasal  33  

           Cukup jelas.

 

Pasal  34

Ayat (1)

Cukup jelas.  

 

Ayat (2)

Agar informasi dapat diterima secara benar oleh masyarakat,   harus digunakan bahasa yang mudah dipahami.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal  35

Dalam prakteknya TKI  yang bekerja pada Pengguna perseorangan selalu mempunyai hubungan personal yang intens dengan Pengguna, yang dapat mendorong TKI yang bersangkutan berada pada keadaan yang rentan dengan pelecehan seksual.  Mengingat hal itu, maka pada  pekerjaan tersebut diperlukan orang yang betul-betul matang dari aspek kepribadian dan emosi. Dengan demikian resiko terjadinya pelecehan seksual dapat diminimalisasi.

 

Pasal  36

           Cukup jelas.

 

Pasal  37

Ketentuan dalam pasal ini berarti bahwa pelaksana penempatan TKI swasta tidak dibenarkan melakukan perekrutan melalui calo atau sponsor baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing.

 

Pasal  38

           Cukup jelas.

 

Pasal  39

           Cukup jelas.

 

Pasal  40

           Cukup jelas.

 

Pasal  41

           Cukup jelas.

 

Pasal  42          

Ayat (1)

            Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Huruf  a

Cukup jelas.

 

Huruf  b

Cukup jelas.

 

Huruf  c

Yang dimaksud dengan mampu berkomunikasi dengan bahasa asing adalah mampu menggunakan bahasa sehari-hari yang digunakan di negara tujuan.

 

Huruf  d

Cukup jelas.

 

 

Pasal  43

Cukup jelas.

 

Pasal  44

Yang dimaksud dengan sertifikasi kompetensi kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi nasional dan/atau internasional.

 

 

Pasal  45

           Cukup jelas.

 

Pasal  46

           Cukup jelas.

 


Pasal  47

Cukup jelas.

 

Pasal  48

Cukup jelas.

 

Pasal  49

                Ayat (1)

Sarana kesehatan dan lembaga yang menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan dan psikologi dalam ketentuan ini dapat merupakan milik pemerintah baik pusat maupun daerah dan/atau masyarakat yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Ayat (2)

                Cukup jelas.

 

Pasal  50

   Cukup jelas.

Pasal  51

Huruf  a

Cukup jelas.

 

Huruf  b

Cukup jelas.

 

Huruf  c

Cukup jelas.

 

Huruf  d

Cukup jelas.

 

Huruf  e

Cukup jelas.

 

Huruf  f

Paspor diterbitkan setelah mendapat rekomendasi dari dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota setempat.

 

Huruf  g

Cukup jelas.

 

Huruf  h

Cukup jelas.

 

Huruf  i

Cukup jelas.

 

Huruf  j

Cukup jelas.

 

Pasal  52

Ayat (1)

            Cukup jelas.

 

Ayat (2)

            huruf  a

Cukup jelas.

            huruf  b

Cukup jelas.

            huruf  c

Cukup jelas.

            huruf  d

Cukup jelas.

            huruf  e

Cukup jelas.

 

            huruf  f

Jaminan yang dimaksudkan dalam huruf ini adalah pernyataan kesanggupan dari pelaksana penempatan TKIswasta untuk memenuhi janjinya terhadap calon TKI yang ditempatkannya.

 

Misalnya, apabila dalam perjanjian penempatan pelaksana penempatan TKI swasta menjanjikan bahwa calon TKI yang bersangkutan akan dibayar sejumlah tertentu oleh Pengguna, dan ternyata dikemudian hari Pengguna tidak memenuhi sejumlah itu (yang tentunya dicantumkan dalam perjanjian kerja),  maka pelaksana penempatan TKI swasta harus membayar kekurangannya.

Demikian pula apabila calon TKI dijanjikan akan diberangkatkan pada tanggal tertentu namun ternyata sampai pada waktunya tidak diberangkatkan, maka pelaksana penempatan TKI swasta wajib mengganti kerugian calon TKI karena keterlambatan pemberangkatan tersebut.

 

Dengan dimuatnya klausul perjanjian penempatan seperti ini,  maka pelaksana  penempatan TKI swasta didorong untuk mencari dan menempatkan calon TKI pada Pengguna yang tepat.

 

huruf  g

Cukup jelas.

huruf  h

Cukup jelas.

huruf  i

Cukup jelas.

 

            huruf  j

Dalam perjanjian penempatan dapat diperjanjikan bahwa apabila TKI setelah ditempatkan ternyata mengingkari janjinya dalam perjanjian kerja dengan Pengguna yang akibatnya pelaksana penempatan TKI swasta menanggung kerugian karena dituntut oleh Pengguna akibat perbuatan TKI tersebut, maka dalam perjanjian penempatan dapat diatur bahwa TKI yang melanggar perjanjian kerja harus membayar ganti rugi kepada pelaksana penempatan TKI swasta.

 

Demikian pula dapat diatur sebaliknya bahwa apabila pelaksana penempatan TKI swasta mengingkari janjinya kepada TKI, maka dapat diperjanjikan bahwa pelaksana penempatan TKI swasta harus membayar ganti rugi kepada TKI.

 

huruf  k

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

            Cukup jelas.

 

Ayat (4)

                        Cukup jelas.

 

 

Pasal  53

            Cukup jelas.

 

Pasal  54

            Cukup jelas.

 

Pasal  55

            Cukup jelas.

 

Pasal  56

Cukup jelas.

 

Pasal  57

Cukup jelas.

 

Pasal  58

Cukup jelas.

                 

Pasal  59

Cukup jelas.

 

Pasal  60

Cukup jelas.

 

Pasal  61

Cukup jelas.

 

Pasal  62

Cukup jelas.

 

Pasal  63

Cukup jelas.

 

Pasal  64

Cukup jelas.

 

Pasal  65

Cukup jelas.

 

Pasal  66

Cukup jelas.

 

Pasal  67

Cukup jelas.

 

Pasal  68

Cukup jelas.

 

Pasal  69

Cukup jelas.

 

Pasal  70

Ayat (1)

Oleh karena proses pengurusan dokumen atau pemeriksaan kesehatan calon TKI membutuhkan waktu yang relatif lama, dan mengingat pelaksanaan pelatihan kerja pada umumnya dipusatkan pada lokasi tertentu sehingga untuk kelancaran pelaksanaan pendidikan dan pelatihan mereka dapat tinggal di penampungan.

 

Ayat (2)

                        Cukup jelas.

 

Ayat (3)

                        Cukup jelas.

 

Ayat (4)

                        Cukup jelas.

 

Pasal  71

 Ayat (1)

Pada dasarnya kewajiban untuk melaporkan diri sebagai seorang warga negara yang berada di negara asing merupakan tanggung jawab orang yang bersangkutan.  Namun, mengingat lokasi penempatan yang tersebar, pelaksanaan kewajiban melaporkan diri dapat dilakukan oleh pelaksana penempatan TKI swasta.

 

            Ayat (2)

Cukup jelas.

 

 

 

Pasal  72

Penempatan TKI yang tidak sesuai dengan pekerjaan dalam ketentuan perjanjian kerja, misalnya di dalam perjanjian kerja TKI tersebut dipekerjakan dalam jabatan baby sitter (pengasuh bayi), maka pelaksana penempatan TKI swasta tersebut dilarang menempatkan pada jabatan selain jabatan yang tercantum dalam perjanjian kerja dimaksud.

 

Pasal  73

Cukup jelas.

 

Pasal  74

Cukup jelas.

 

Pasal  75

Cukup jelas.

 

Pasal  76

Ayat (1)

                        Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Setiap negara tujuan atau Pengguna dapat menetapkan kondisi untuk mempekerjakan tenaga kerja asing di negaranya. Oleh karena itu terdapat kemungkinan adanya tambahan biaya lainnya yang menjadi beban calon TKI. Agar calon TKI tidak dibebani biaya yang berlebihan, maka komponen biaya yang dapat ditambahkan serta besarnya biaya untuk dibebankan kepada calon TKI.

 

Ayat (3)

                        Cukup jelas.

 

 

Pasal  77

Cukup jelas.

 

 

Pasal  78

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Penetapan jabatan Atase Ketenagakerjaan pada perwakilan Republik Indonesia tertentu, dibahas dan dilakukan bersama oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang  Hubungan Luar Negeri, Menteri yang bertanggung jawab di bidang Keuangan, Menteri yang bertanggung jawab di bidang Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Menteri yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal  79

Cukup jelas.

 

Pasal  80

Cukup jelas.

 

Pasal  81

Cukup jelas.

 

Pasal  82

Cukup jelas.

 

Pasal  83

Cukup jelas.

 

Pasal  84

Cukup jelas.

 

Pasal  85

 Ayat (1)

                        Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan Pemerintah termasuk di dalamnya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI dan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI.

 

Pasal  86

            Cukup jelas.

 

Pasal  87

            Cukup jelas.

 

Pasal  88

            Cukup jelas.

 

Pasal  89

            Cukup jelas.

 

Pasal  90

            Cukup jelas.

 

Pasal  91     

            Cukup jelas.

 

Pasal  92

            Cukup jelas.

 

Pasal  93

            Cukup jelas.

 

Pasal  94

            Cukup jelas.

 

Pasal  95     

            Cukup jelas.

 

Pasal  96

            Cukup jelas.

 

Pasal  97

             Cukup jelas.

 

Pasal  98

            Cukup jelas.

 

Pasal  99

            Cukup jelas.

 

Pasal  100

            Cukup jelas.

 

Pasal  101  

            Cukup jelas.

 

Pasal  102

Cukup jelas.

 

Pasal  103  

            Cukup jelas.

 

Pasal  104

            Cukup jelas.

 

Pasal  105

            Cukup jelas.

 

Pasal  106  

            Cukup jelas.

 

Pasal  107

            Cukup jelas.

 

Pasal  108  

Cukup jelas.

 

Pasal  109  

Cukup jelas.

 

 

 

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4445

 

 

pjtki pt alkurnia